Minggu, 17 Pbr 2019 (Pekan Biasa VI).
Bacaan I Yeremia 7:5-8. Bacaan II 1Korintus 15:12.16-20. Injil Lukas 6:17.20-26.
*”Berbahagialah kamu…; tetapi celakalah kamu…”* (Luk 6:20.24).
KITA tentu ‘memburu’ kebahagiaan. Kita bahkan menetapkan apapun yang kita yakini sebagai ‘area’ dan ‘sumber’ kebahagiaan. Mungkin itu harta, kedudukan, pangkat dan segudang prestasi. Mungkin pula itu adalah satu ‘kebahagiaan akal budi’. Saat kita merasa telah memiliki pikiran yang cerdas. Dapat mencermati gejolak tanda-tanda jaman. Membuat segalanya serba ‘masuk akal’.
TIADA yang salah dari usaha ‘mulia’ untuk mencari dan mengalami kebahagiaan seperti itu. Karena kita memang memiliki ‘modal’ untuk mencapainya. Namun, dalam dunia yang sering tidak ramah dan juga ada dalam ‘batasannya’, ternyata badai kekecewaan, misalnya, bisa mendera kita. Kita tetap merasa ‘miskin’ sambil dikitari harta melimpah. Kita nyatanya bisa ‘bolak-balik’ sulit pejamkan mata di atas kasur empuk amat layak tidur. Kita jadinya tak berselera di hadapan hamparan menu kuliner ‘yang tinggal kita pilih.’ Ada apa dengan kita? Dan apa sebenarnya ‘kebahagiaan’ itu dalam tantatan ‘beriman’.
MUNGKIN kita cenderung berpatok pada rumusan kebahagiaan ‘milik kita sendiri’. Yang kita tumpukan untuk diri kita sendiri. Saat sekian banyak sesama dapat kita ‘taklukan’ oleh ide-ide kita yang ‘cemerlang’. ‘Segalanya kita’ adalah modal kuat untuk mencapai kebahagiaan. Namun justru di sinilah awal ketidakbahagiaan yang sesungguhnya. Maka, bukan kebahagiaan yang dialami, melainkan celakalah!
NABI YEREMIA bersuara lantang: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari TUHAN” (Yer 17:5). Maka kebahagiaan itu adalah ‘samudra’ dari ziarah relasi yang segar dengan TUHAN. Pun sebagai ‘muara sejuk’ dari perjalanan relasi yang sehat kita dengan dunia dan sesama.
MAKA, berbahagialah kita: yang walapun ‘miskin’ tetapi tetap berjuang untuk ‘memperkaya’ dunia dan sesama. Walaupun ‘lapar’, tetap memiliki ‘sesuatu’ untuk ‘memuaskan’ sesama. Walaupun ‘dibenci, dikucil, dicela, ditolak, tetapi tetap memiliki hati agung mulia untuk menerima siapapun. Tanpa syarat.
DALAM tatatan keseharian: ‘berbahagialah keluarga yang bebas kekerasan. Tetap saling mengasihi dan saling setia. Berbahagialah lingkungan hidup karena antar keluarga tetap ada saling menyapa dan melempar senyum lebar yang tulus. Saling memperhatikan satu terhadap yang lain. Berbahagialah lingkungan kerja ketika tetap terjaga hak dan kewajiban, kedisiplinan. Berbahagialah kehidupan bersama saat tetap diusung sikap ‘saling mendengarkan’, saling mengoreksi secara sehat. Berbahagialah kehidupan berbangsa dan bernegara saat kita bebas dan dijauhkan dari berita-berita palsu (hoax). Steril dari suara dan lagak laku yang provokatif. Hasut sana, hasut sini…
Maka, bahagialah kita. Walau kita tergolong ‘orang biasa-biasa saja’, kita mampu mengusahakan hal-hal yang ‘luar biasa’ yang indah. Semuanya…atas dasar iman.
Salam Yesus Ekaristi Kudus.
Selamat Hari Minggu. TUHAN memberkati. Amin.